Minggu, 30 Juni 2013

My Beautiful Mama


My mama is the sources for all the inspiration existed
She’s the orbit of my lives rotation
She’s the power of my weaknesses
My believing
God, please protect her..
Please..
Please God, put smile on her beautiful face, no matter what will happened to this life..
Because she know, she know that You and I will carry on her..
And she know that everything’s going to be oke
She’s fine.. and she’s beautiful.. as always

I miss you, my beautiful mama! 

Sabtu, 29 Juni 2013

Sebut Saja Jumat Kelabu.

Kemarin tepatnya, tanggal 28. Pagi-pagi sekali pukul 10 (maaf versiku emang kaya’ gini paginya) saya sudah siap-siap mau ke rumah om di Tebet. Tapi gara-gara harus nyuci dulu finally saya baru kelar pukul 12. Ada accident kecil sewaktu nyuci. Saking semangatnya saya ke rumah om dan ingin buru-buru bertemu kedua anaknya yang lucu-lucu, maka semangat banget lah saya ngucek baju. Alhasil, auuch! Tanganku luka teriris baju. Well, oke saya pikir biasalah, anak mandiri memang gini suka lecek-lecek anggota tubuhnya karena kerasnya kehidupan. Hehe.

Sungguh tak terbersit di benakku bahwa ini adalah pertanda akan adanya kesialan-kesialan beruntun selanjutnya. Kayak di sinetron-sinetron tuh yah, kalo ada accident kecil misalnya tiba-tiba memecahkan gelas atau keselek makanan, eh rupanya adalah bertanda kesialan. Sometimes sinetron emang ada benarnya, sob! (Called me miss drama queen)

So, kelar nyuci dan berberes barang-barang  packing-an, ol lagi lah saya. Tarik nafas dulu ah! Kilahku menunda-nunda keberangkatan. Sembari ol saya liat lowongan kerja jurnalis di salah satu majalah semi esek-esek nasional, Popular. Boleh juga kataku. Daripada tidak sama sekali, Popular worth to try juga nih. Maka tak berlama-lama lagi dengan sigapnya saya membuat cv untuk majalah Popular. Coba-coba berhadiah kan yah. Eh, malahan jadi ribet sekali. Info loker dari majalah Popular ini tidak mencantumkan alamat email HRD-nya seperti info-info loker biasanya.

 Ya sudah cv  yang tadi saya kerjakan harus dikompres terlebih dahulu supaya bisa apply lamaran melalui web pencari kerjanya langsung dan bukan melalui email HRD. Setelah utak-atik dokumen cv, ternyata masih sending failed juga. Karena, data yang mau dikirim harus tidak lebih dari 300 kb. Sementara kegaptekanku hanya menyanggupi kompres data sampe 326 kb saja. Saya jadi kesal. Demi Tuhan, demi majalah semi esek-esek nasional ini!

Karena gagal-gagal terus-terusan, akhirnya saya memilih jalan short-cut dengan meng-googling alamat HRD-nya saja. Apa sih yang tidak ada di google? Apa lagi alamat HRD majalah Popular. Namanya saja Popular, harusnya populer dong. Dan benar saja saya dapat alamat HRD-nya. . Segera saya kirim dokumen lamaran kerjaku ke alamat tersebut yang saya temukan dari blog antah-berantah. Siip, ready to go! Eh, tau-tau ada notif email masuk. Guess what, itu email dari diriku sendiri karena alamat email yang saya tuju ternyata hoax belaka. Akk, bodo’ ah! Bye bye Popular!

Saya akhirnya melenggang kesal meninggalkan kosan pukul 4.30. Sesampainya di stasiun kereta api Pal Merah saya dikejutkan lagi dengan harga tiket kereta yang membumbung tinggi menjadi RP. 16.000. Buset, lonjakan BBM 44% ternyata berimbas ke tarif kereta juga rupanya. Tidak tanggung-tanggung malah naiknya, kemarin saya naik kereta sampe Depok saja bayarnya cuman RP. 9.000. Mana lagi miskin-miskinnya pula. Duit di dompet tersisa RP 50.000 saja. Tapi sudahlah yah, nasib.. Mau tidak mau saya toh tetap harus berkunjung ke rumah om. Barangkali saya juga bakal dapat duit sangu sama dia. Ihik.

Oyah, tapi saya belum terlalu ikhlas juga sih dengan harga tiket sebegitu mahalnya. Saya masih mempertanyakan tentang perubahan aturan dan tarif kereta baru ini. Tante ku, si tante Ade yang sehari-harinya naik kereta pergi dan pulang kantor juga kaget dengar kabar harga kereta yang saya beli. Kata dia, kereta api sekarang memang sudah pake kartu semacam ATM bukan kertas-kertas katro’ yang warnanya pink itu lagi. Tapi harganya bisa jadi lebih murah kok. Kan, tarif progresif menghitung kelipatan seribu per-stasiunnya. Lah, kok punyaku mahal kaliii.

Saya tanya deh sama petugas keretanya. Menurutnya harganya memang segitu kalo mau ke Tebet. Soalnya kartu yang saya beli namanya kartu single trip. Kartu saya warnanya biru. Ada lagi namanya katu multi trip, warnanya hitam, bisa dibeli harganya RP 35.000 dan harus registrasi dulu. Kartu yang hitam ini bisa di-keep dan diisi saldonya sesuka-suka hati kita. Dengan cermat saya menyimak bapaknya menjelaskan. Oooh.. gitu yah pak.. hmm ya ya yah.. Siip makasih yah pak, saya kayaknya tidak berminat tuh, uang saya tidak cukup masalahnya!

Sungguh harapan saya dapat uang sangu dari Om semakin menjadi-jadi. Pokoknya begitu sampe di Rumah Omku, saya harus bercerita sesendu-sendunya seberapa cekaknya saya dan betapa kenaikan BBM begitu mencekik keuangan anak kosan.

Alhamdulilah, sampe dengan selamat ke rumah om di Tebet. Ada orang kerja di rumahnya yang membukakanku pagar. Dia bilang, cari siapa non? Ehmm.. cari Tante Ninong, Puang Iwan, Andien, Iki, Fauzan.. (masih kurang?) saya ponakannya Puang Iwan kataku (sedikit congkak mungkin. Maaf aja yah saya capek soalnya, dan tega-teganya saya ditanya cari siapa? Oh eeM Gii). Maka sebelum diperkenankan masuk saya sudah duluan berhamburan ke garasi. Mba’nya jadi salah tingkah dengan ulahku. Jadi kasian juga sih, saya tersenyum ramah sama dia. Eh, btw Andin mana? Si mba’ menjawab. Loh, Andin kan ke Aceh sekeluarga, baru kemarin sore berangkat..

GOTCHA!

Mba’ serius mba’.. kataku memelas. “Iya, non… serius hehehehehehehe” (hehehe? Krik krik krik)

Si Mba’ memang serius. Tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada saya dan mba’ yang saya tidak tahu namanya. Selamat datang sengasara. Saya tinggal meratapi nasib berjam-jam duduk, ol sambil nonton TV di ruang tengah. Saya belum ngantuk sampe jam 12 malam. Ah, bosan juga saya nongkrong di sini. Maka naiklah saya ke kamar Fauzan, ingin membunuh suramnya hariku dengan tidur yang lelap. Begitu masuk kamar, knop pintu saya kunci biar aman.

Saya curhat dengan Yuda betapa sialnya hariku. Dia mendengarkan dengan khidmat. Dia juga memberi beberapa nasehat tentang masalah lain yang saya keluhkan (masalah yang tidak usah diceritakan di sini yah, hehe). Kami telfonan sejam lebih. Selesai telfonan saya jadi haus. Rasanya hari ini terlalu banyak masalah dan saya jadi sering dehidrasi karenanya (nat, nat, kok lebay sekali nat..). Begitu knop pintu saya coba buka, ternyata kuncinya macet saudara-saudara! Dan saya harus merasakan hidup dipenjara selama.. ehm.. coba saya hitung dulu.. yah 10 jam. Sampe akhirnya saya terbebas dari penjara kamar Fauzan pukul 11 pagi. Sewaktu mba'nya baru pulang dari pasar dan menemukan saya lagi nagkring di jendela mengharapkan datangnya keajaiban.

Betul-betul hari yang aneh. Dan saya toh tidak mendapatkan khidmat apa-apa selama 10 jam persemedianku. Saya lebih memilih tidur daripada mencoba me-review tentang apa yang salah dengan ku hari ini. Malam nampaknya terlalu horror untuk dipakai berkhayal. Mana lagi saya sempat nonton film thriller Prom Night di Trans TV waktu itu. That’s a big no to stay up late and seeing mine suffers! Saya hanya berdoa, semoga Tuhan memberikan ku hari yang indah keesokannya, semoga tak ada lagi nelangsa, dan semoga malam ini saya bisa tidur nyenyak!

 Alhamdulilah Tuhan mendengarkan doaku, betapa bahagianya saya bangun disambut sinar pagi hari. Horeeee pagi!!! Dan Tuhan baik sekali hari ini karena kehendaknya, motor Yuda sampe ke Ibu Kota dengan selamat, hehe. Well, malamnya KAMIPUN BERKELILING JAKARTA J



Ayooooooo kita gempur Jakarta, Bebi!

Rabu, 26 Juni 2013

I found Danny Boyle as one of my favorite Directors.

I would say one word to describe his collective films – although only five films i had watched :’) – that is “speed”. Slumdog Millionaire, 28 days later, 127 hours, The Beach, and the most recently I've watched was Trainspotting. Every time watching his new film, I feel like the same tension came through me. All the hanky-panky scenes and a seemingly similar moving camera from his mostly films that build the same tension that I'd recognized was a Boyle’s way of directing.

Besides that Boyle also have a great taste of music. There always be a favorites play list song that I can added from his soundtrack movies. Except “28 Days Later”. For this film I have vague memory. I don’t quite remember about the story, but I knew I had done watching it because I see the trailer and I recognize some of the pictures. Although little bit disappointed but I’m pretty sure that it wasn't because the story is bad. I assumed because the CD was not good enough. You know piracy things. Don’t expected too much.

All right we go too far. Let’s go back to the soundtracks. First is The Beach Soundtrack; Pure Shores-All Saints (A very important song to me), Redemption-Bob Marley, Brutal-New Order, and Porcelain-Moby. Second is Slumdog Millionaire; Jai Ho-Pussycat Dolls feat A.R Rahman, Paper Planes-A.R Rahman (although merely listen to 2 out of 15 songs, but I am sure A.R Rahman-as the dominant composer from this soundtrack album been working a very good scored songs. (As he always did).

Third is 127 Hours; Never Hear Surf Music Again-Free Blood (my transcendental music), Lovely Day-Bill Withers, If I Rise-A.R Rahman ft Dido, Festival-Sigur Ros and If You Love Me (Really Love Me)-Esther Phillips. And for the last is Trainspotting; Sing-Blur, Nightclubbing-Iggy Pop, Temptation-New Order,  Last for Life-Iggy Pop ft David Bowie, Deep Blue Day-Brian Eno and Mile End-Pulp.

Within the two essential components; Speed and Songs, I can briefly recognize his films without first knowing who the director is. You can clearly feel his nuance through those components. Something that I waited the most during watching his film is the hanky-panky. There are seemingly a common nuance from 127 Hours, Slumdog Millionaires, The Beach,  28 Days Days Later, and Trainspotting that can’t be separated from Boyle’s way of directing. Each of those films had a same camera moves when the tension came up. And right on that circumstance Boyle strike down our emotion by mixing it up with his good taste of music.

Well,  I got to say that I can’t wait to see his other works. To experiencing the other tension and added it as my own experiences. To hear his other music choices and posses it as mine favorites. Because i knew even I don't watching it yet that his next creation would be also represented my whole passion about this world.

Finally, as my morning tea company I'd like to play some of my favorites. I wish we were enjoy it..

“Choose Life. Choose a job. Choose a career. Choose a family. Choose a fucking big television. Choose washing machines, cars, compact disc players, electrical tin openers, choose good health, low cholesterol and dental insurance. Choose fixed-interest mortgage repayments. Choose a starter home. Choose your friends. Choose leisure wear and matching luggage. Choose a three-piece suite on hire purchase in a range of fucking fabrics. Choose DIY and wondering who the fuck you are on a Sunday morning. Choose sitting on the couch watching spirit-crushing game shows… stuffing fucking junk food into your mouth. Choose rotting away, pissing your last in a miserable home… nothing more than an embarrassment to the selfish brats that you’ve spawned to replace yourself. Choose your future. Choose your life. But why would I want to do a thing like that? I choose not to choose a life. I choose something else. And the reasons? There are no reasons. Who needs reason when you’ve got heroin? “ – Mark Renton ( an handsome scumbag)


Senin, 24 Juni 2013

Too bad we were born in the man’s world!

Gara-gara liat status Nuge, saya jadi pengen nulis gini. I miss her anyway :')


Sering terlintas dalam pikiran saya begitu mudahnya lelaki menjalani hidupnya. Mereka bebas memilih pekerjaan yang dikehendakinya, boleh menjadi presiden, CEO, supir truk, sampai tukang parkir. Bukannya tidak bisa bagi kita perempuan-perempuan sejagad raya. Tapi lihat, seberapa mereka gampang saja meng-under estimate perempuan sebelum dia bahkan mencoba kemampuannya. Apakah sejarah yang telah menetapkan pola pikir mereka sedemikian rupa? Kita sebut saja "mereka" yah, bagi siapapun yang ternyata masih konserfativ dalam hal ini.

Laki-laki, mereka boleh merokok di tengah jalan, boleh bekerja di pub tanpa ada stereotype negatif mebayanginya, bahkan boleh minum bercangkir-cangkir coffee tanpa protes dari sesiapapun juga. Sedangkan kita perempuan, baru minum 3 cangkir kopi hitam sehari sudah diprotesi, “kamu perempuan,  kenapa minum kopi hitam?”. Ini masih kopi. Belum bir. Naif! Padahal ini cuman minuman loh!

Kalau memang ada penerapan gender dalam minuman dan rokok, bukan kah petani kopi dan tembakau juga kebanyakan adalah perempuan? Benar, mereka seperti ibu-ibu yang mengandung dan melahirkan kopi dan rokok itu nantinya. Dan anaknya yang dididik menjadi malin kundang agar jauh dari ibunya. Para ibu, maksud saya perempuan-perempuan seperti kita ini lantas menjadi objek decakan negatif karena mencicipinya.

Belum lagi bicara tentang hubungan. Seberapa pahit argument orang-orang yang melazimkan hal-hal negatif hanya karena mereka lelaki. “iya, kan suaminya kedapetan jajan di Hayam Wuruk, istrinya ngambek tuh” – “Oh gitu, yah lagian laki’lah.. gapapa”. Omongan seperti ini nih tidak jarang buat kupingku merah meradang. Pengen ditabok. Namun, saya sadar kekerasan tidak pernah menjadi solusi bagi setiap masalah maupun bagi setiap omongan sampah seperti itu.

Di masa ini, saya adalah seorang perempuan yang sedang berjibaku dengan lowongan kerja. Pekerjaan idaman saya adalah pekerjaan yang banyak berkompetisi dengan lelaki-lelaki tangguh. Di suatu wawancara dengan pimpinan redaksi salah satu majalah musik terkemuka, saya diperingatkan menjadi reporter musik di tempat itu harus bermental baja. Karena pekerjaan itu hakikatnya kerjaan laki-laki. Belum lagi konten yang dibahas adalah hal-hal seputaran laki-laki, seperti musik, film, konser, game, dan wanita.

Sedikit terhardik saya hanya tinggal mengangguk-angguk. Dalam hati saya menyangkal “mana mau saya bekerja disini kalau saya tidak menyenangi musik, film, konser dan well wanita? Maksud saya, bukan kah saya bisa menceritakan wanita itu sendiri dengan lebih detil dan sentimentil, secara saya adalah kaum wanita itu sendiri?” tapi, sekali lagi saya hanya diam terpaku memandangi majalah yang sedari tadi di bolak-balik olehnya. Sayang sekali pikirku, padahal dia lumayan hebat bisa jadi Pimpinan Redaksi.

Dari semua hal pilu yang pernah yang dirasakan perempuan seperti diatas, saya ingin berteriak “KALIAN KUNO!!!” oke, saya tidak akan menuntut keadilan, karena di dunia ini, yang adil hanya isapan jempol belaka. Alias sejatinya memang tak ada. Saya hanya bisa.. yah begini. Menggerutu. Masih salah juga?


Minggu, 23 Juni 2013

"Bonnie and Clyde", people!



Teaser Trailer!


I have to say that this movie was one of the tragic love story movies I've ever seen in my life. “They’re young, they’re in love, and they kill people” this what its poster described itself, which can clearly depicted the collective story situation. Unlike Romeo and Juliet, Bonnie and Clyde was a couple that smitten to the robbery. Love first struck on them during the first robbery and gradually flourished through all the violent things they had done together.

But you don’t have to worry about losing your appetite after watching it. Obviously this movie was way too far from all the 21’st century crime movies. There are so many fights, sex and a harsh blood you can found in these recently crime movies. And Bonnie and Clyde actually was regarded as the first major Hollywood Movie that interjected many sex and violent into the scenes. Besides that, Bonnie and Clyde also wrapped with a good sense of humors so you won’t vomit during watching this movie. I bet ya.

Bonnie and Clyde was based on the true event about Bonnie Parker and Clyde Barrow who lives in Texas. According through the movie story, they are first meet in the outside of Bonnie’s house when Clyde was caught by Bonnie trying to steal her mother’s car. Despite getting angry because of Clyde attempted to steal her mother’s car, Bonnie briefly attracted to Clyde’s charm and try to flirting on him. But Clyde wasn't a lover man like the way he always called himself. Although little bit disappointed by Clyde refuses on her, Bonnie insist to follow Clyde and wishing one day he will accepted her as his lover.

Bonnie become his loyal partner during the burglary. They are robbing in supermarkets and banks. One day after robbing the bank, they are stop by at the gas station and meet C.W. Moss. They asked Moss if he dare to join them robbing the banks. Moss then agrees to join the gang. No longer after Moss joined in, the gang meets Clyde’s brother, Buck and his wife Blanche. All of them agrees become an officially a robbery gang since that day. While on the same time the intimacy between Bonnie and Clyde was increased.

They were totally in a love drunk. Until there come the misfortune. One day after shopping at the supermarket, Bonnie and Clyde ride over to Moss’s home. They have no idea right on that day everybody was arranged for their assault. Apparently wasn't only the policeman who hunted down on them, but Moss’s father also engaged on the raid plan. He made the agreement about the raid in one condition that Moss will not hunt down.

So the plan was goes smoothly. On their way back home, Bonnie and Clyde saw Moss’s father stuck on the road with his broke machine car. Bonnie briefly went down from the car and accosted him. And dramatically a shooting barrage come strike on Bonnie and Clyde body makes them dead right away. Last minutes before the first shot hitting them, they are glancing like a wave goodbye to each other. That was a truly bittersweet emotion came through them before finally facing the death. And was a hurt sad love story that the audience – particularly me- had to face as the ended of the story.


These what I called the bittersweet glanced before facing the death!



The real Bonnie and Clyde:


Bonnie and Clyde the movie:



Bonnie and Clyde in 21'st century.........KIDDING!!!!


Rabu, 12 Juni 2013

The hot babe, Kemp Muhl

LAVENDER ROAD!



Cantik, pandai bernyanyi, bermain musik, mengarang lagu, dan akting. Itulah Kemp. Model, actress sekaligus anggota duo groupband The Ghost of a Saber-Tooth Tiger. Kemp berpacaran dengan Sean Lennon – anak John Lennon dari Yoko Ono – merangkap partner duo dalam The Ghost of a Saber-Tooth Tiger. Kemp dan Sean sudah berpacaran dari tahun 2005 jauh sebelum mereka memutuskan membuat groupband-nya di tahun 2008.

Stigma negatif, orang cantik hanya menjual kecantikannya saja rasa-rasanya tidak pantas kita sematkan pada Kemp. Kemp is a real Multi-talented also a real Multi-instrumentalist! Kemp menguasai setidaknya 10 alat musik, mulai dari gitar, bass, keyboards, harmonika, bayan (harmonika tangan),  perkusi, modern perkusi, dan terakhir dia memainkan sejenis pipa perangkat perawat rumah sakit di zaman Victorian. Alat ini dimainkan dengan cara ditiup.

Suaranya juga tidak bisa diremehkan. Meskipun tidak bernyanyi dengan cara berteriak-teriak karena musik yang diusung The Ghost of a Saber-Tooth Tiger lebih banyak adalah akustikan, tapi suara yang lembut khas Kemp sangat berkarakter dan merdu. Karena kemampuan Kemp inilah banyak pengamat musik yang mengibaratkan pasangan Sean dan Lennon layaknya John dan McCartney.

Kemp menjadi sepadan berpasangan dengan Sean yang secara genetik telah mewarisi kemampuan bermusik dari ayahnya. Kemp juga dianggap sepadan diibaratkan dengan McCartney karena keahliannya merangkai lirik-lirik romantis dan  kemampuannya membuat ballad music. But among all, yang paling penting adalah kemampuan Kemp dan McCartney dalam menekan ego para marga Lennon. Harus diakui, tidak banyak orang yang memiliki keahlian seperti ini. Namun, malang bagi pasangan John dan McCartney karena keharmonisan itu ternyata tidak dapat bertahan lama. Semoga kejadian tersebut tidak terulang bagi pasangan Sean dan Kemp.

Untuk pemilihan genre The Ghost of a Saber-Tooth Tiger, khususnya Kemp lebih cenderung bermusik di jalur avant-grade dan folk. Sedangkan dalam karir modelingnya, kemp yang tahun ini baru menginjakkan usianya ke 26 tahun, telah terjun aktif di dunia modeling dari usia 13 tahun. Sekarang bergabung dalam agency Elite Models dan menjadi salah seorang duta brand Maybelline dari tahun2011 sampai 2013. Isn’t she a heartbreaking one? Patut disayangkan memang ia sudah jatuh di dekapan seorang Sean Lennon. Tapi seperti kata orang banyak, sebelum jalur kuning melengkung, setiap orang itu masih milik bersama. Anggap saja demikian.

Yellow Submarine; Kartun dengan warna-warna psychedelia

WATCH THE FULL MOVIE HERE : https://www.youtube.com/watch?v=FDWw1uJFtII

Also with the thriller over here: 



George Danning adalah seorang filmmaker dan animator asal Kanada. George merupakan filmmaker eksentrik yang hobi membuat film surealis. Salah satunya adalah film kartun Yellow Submarine ini. Yellow Submarine bercerita tentang penyelamatan suatu tempat di bawah laut bernama Pepperland. Pepperland adalah tempat yang sangat menyenangkan yang dihuni oleh orang-orang yang suka bernyanyi. Tapi tempat ini mendapat ancaman dari Blue Meanies, sekelompok makhluk yang benci dengan musik. Mereka ingin menjadikan tempat itu menjadi suram.

Blue Meanies memiliki ramuan mujarab yang dapat merubah warna Pepperland yang mulanya ceria, sarat dengan dengan warna-warna psychadelia menjadi warna biru gelap, sehingga orang-orang yang berada di dalamnya akan ikut merasa suram dan enggan bermain musik lagi. Walikota Pepperland bergegas mengutus Old Fred, seorang pelayar untuk mencari bantuan. Old Fred berlayar dengan kapal selam berwarna kuning atau Yellow Submarine sampai ke Liverpool dan bertemu dengan Ringo Star.

Setelah mendengar cerita dari Old Fred, Ringo mengajak tiga kawannya, yakni John Lennon, George Harrison dan Paul McCartney untuk membantu Old Fred menyelamatnya kotanya. Di sepanjang perjalanannya selalu ada saja kendala yang harus dilewati. Kisah penyelamatan Pepperland menjadi sangat lucu dan sarat makna konotatif yang mengibaratkan kisah ini lebih mirip terhadap masalah youth culture era 60s. Sebagaimana yang kita ketahui era 60s adalah masa perjuangan anak muda dari budaya mainstream dan perang dingin Vietnam, yang secara harfiah dapat merenggut kebahagian anak muda dalam kehidupan sosialnya. Namun, George berhasil mengemasnya menjadi kartun yang cerdas dan menghibur.
.
Parodi disajikan melalui dialog-dialog satir antara geng penyelamat Pepperland dengan geng Blue Meanies. Jadi sebut saja geng penyelamat Pepperland mewakili kelompok anak muda yang menuntut revolusi budaya, kebebasan berekspresi, dan perdamaian sedangkan geng Blue Meanies mewakili kaum the establishment meliputi kelompok mainstream dan orang tuanya sendiri. Sedangkan warna-warna pschedelia yang tampak jelas dalam animasinya tentu berhubungan erat dengan maraknya pergerakan hippie, dan penggunaan drugs sejenis LSD dan mariyuana pada era 60s.

Film berdurasi 1 jam 30 menit ini juga menyajikan 19 soundtrack lagu The Beatles. Tentunya yang termasuk di dalamnya adalah lagu-lagu pasca Beatles menjadi semakin “kiri” dengan perubahan filosofinya dalam membuat lagu. Secara keseluruhan, film yang secara pemaknaan adalah mengangkat masalah sosial budaya ini, berhasil disajikan dengan sangat fresh di tangan George. Dan yang pasti kita akan semakin terhibur dengan lagu-lagu Beatles yang dibawakan secara parodi oleh perwakilan karakter masing-masing personil The Beatles. Film ini juga masuk dalam box-office hit di Amerika dan Inggris pada masa rilisnya. Well, sounds like favourable enough, right?

"The Beatles And The Sixties"

Beatles Revolution:



Beatles Skiffle


 Beatles Without Harrison Yet


The Cute Beatles Emerged 


 The Popular Fab Four With the Girls Fans Freenzy  


 One Day Announced as Drugs Users 


 Beatles Revolutionary Begun 


Glad Being Hippies


 Romanticism Faded


And Finally Divorced


Kenapa Beatles selalu disangkut pautkan dengan youth culture dan counterculture era 1960an? Oke, Beatles lahir dan mencapai kesuksesannya di tahun 1960an. Tapi apa penyebab Beatles selalu disangkutpautkan dengan perjuangan anak muda menuntut revolusi di tahun 1960an? bahkan dianggap sebagai pionir pergerakan hippie?

Berangkat dari group band dengan kesan “cute” yang dicintai oleh banyak gadis-gadis Inggris, Beatles kemudian bertransformasi menjadi grup band “kiri” yang diwaspadai oleh politisi dan pemimpin Negara-negara Barat. Terbayang seberapa kompleks darama dan masalah yang menimpa Beatles di era 1960an. Mereka yang mulai meniti karirnya, menjadi populer tidak hanya di Inggris namun hampir di seluruh Dunia, jadwal tur yang padat, Film, Beatlemania, Pers, kontroversi,  sampai keruntuhannya di tahun 1970. 10 tahun yang melelahkan pastinya. Namun, jangka waktu 10 tahun ternyata cukup untuk menjadikan The Beatles menjadi grup band yang teramat sangat fenomenal.

Sebenarnya modal kepopuleran Beatles tidak hanya bermodalkan lagu-lagunya yang berkelas  dan sophisticated. Namun, Beatles juga merangkainya dalam aktifitas sosial youth culture movement yang membuatnya semakin fenomenal. Proses transisi Beatles dari group band manis menjadi group band “kiri” tidak lepas dari pengaruh Bob Dylan. Bob lah yang mengingatkan mereka bahwa bermusik tidak hanya melantunkan lirik percintaan dengan melodi cengeng, tapi bermusik juga merupakan media seniman dalam menyampaikan aspirasinya. Bob juga lah yang pertama kali memperkenalkannya dengan Mariyuana yang kedepannya sangat mempengaruhi musik rock psikadelik Beatles.

Diakui John bahwa mereka sudah muak menjadi band manis idola para gadis-gadis, “ We’re fed up with making soft music for soft people and we’re fed up with playing with them too” McCartney pun menimpalinya “we’were fed up with being The Beatles we really hated that fucking four little mop-top approach. We were not boys, we were men… and [we] thought of ourselves as artist rather than just performers”. Demikian John dan McCartney sebagaimana dikutip dalam buku biografi Beatles Here, There, and Everywhere: My Life Recording the Music of The Beatles. Musik mereka lambat laun berubah haluan menjadi folk rock dan rock psychedelic. Revolusi aliran musik tersebut juga dibarengi dengan lirik-lirik musik Beatles yang berkembang semakin dewasa, sarat dengan muatan politik, sangat filosofis, surealis bahkan satir.

Penggemar Beatles dan kaum muda 60s yang sedang ramai-ramainya mengampanyekan perdamaian bahkan menganut faham hidup bebas atau hippie movement mulai mengikuti revolusi musik Beatles. Mereka kemudian mencoba memahami, menafsirkan, menganut, dan memasalkan simbol-simbol kultural dalam aktifitas politik dan musik Beatles. Musiknya dipandang sebagai  political anthems counterculture movement era 60s. Dari sini The Beatles berubah menjadi institusi kultural, politik, bahkan bisnis global.

Namun Beatles tidak lantas hilang seiring redupnya counterculture movement era 60s maupun redupnya pergerakan hippie. Nama Beatles justru tinggal melegenda dan menjadi patron bagi musik-musik berkualitas dunia. 

“Beatles and the 60s Youth Culture”

Revolusi The Beatles:


                                                                         Beatles Skiffle


Synthesizer


Thanks to Elisha Gray to be the first person who was invented an electric musical instrument in 1876. Elisha yang merupakan seorang teknisi elektro tidak sengaja menemukan metode pengaturan suara pada sebuah alat electromagnetic buatannya. Alat ini kemudian berkembang dan melahirkan jenis-jenis instrument elektronik lainnya, salah satunya adalah synthesizer. Synthesizer dapat berupa  keyboard, fingerboards, gitar, violin drum dan perkusi.

Synthesizer menjadi instrument alternatif bagi banyak musisi untuk menghasilkan suara musik yang megah dan sophisticated. Awalnya, di tahun 1970an synthpop mulai terkenal melalui musik-musik instrument karya Jean Mechel Jarre, Larry Fast, dan Vangelis. Synthpop kemudian semakin terkenal di tahun 1976 semenjak release album Berlin Trilogy oleh David Bowie yang dibantu pengerjaannya oleh salah seorang dewa musik ambient, Brian Eno.

Sekarang ini musik synthesizer, synth, atau synthpop tidak asing lagi ditelinga kita. Ada Depeche Mode, The Buggles, The Bird and the Bee, Daft Punk, Imogen Heap sampai musisi-musisi mainstream juga bermain synth pada lagunya. Sebut saja Rihana, Lady Gaga dan masih banyak lagi. Untuk lokal kita pasti sangat akrab dengan musik synthpop ala-ala Pee Wee Gaskins. Synthpop tidak menjadi genre khusus bagi musik itu sendiri. Melainkan sebuah komponen suara electromagnetic yang dapat melahirkan warna musik baru dan segar bagi sebuah karya.

Melihat perkembangan musik dunia yang semakin canggih, dan antusiasme penikmat musik terhadap musik-musik elektronik sekelas Will.i.am dan suara elektronik bervibra seperti Britney Spears, nampaknya chance  synthpop untuk semakin populer cukup besar. Yang pasti synthesizer sudah memiliki pangsa pasarnya sendiri, mainstream ataupun indie, musisi ataupun penikmat musik, mereka selalu mencintai synth. 

At the first time yah, saya pikir wajib mendengarkan The Tallest Man on Earth karena wajahnya mengingatkanku seseorang dari mesin waktu Doraemon. Tapi lama-kelamaan toh saya ketagihan, liriknya adalah mantra-mantra cinta penuh dengan teka-teki and for the last reason is obviously cuz he always being associated with The Marvelous Dylan.



Renkarnasi  musik Folk Bob Dylan, The Tallest Man on Earth.
Lahir di Dalarna, Swedia, 30 tahun yang lalu dengan nama asli Kristian Matsson. Adalah seorang penyanyi folk music dengan stage name  The Tallest Man on Earth. Ia menikah dengan salah seorang musisi yang juga berasal dari Swedia, Amanda Bergman atau lebih populer dengan stage name Idiot Wind. Biasanya The Tallest Man on Earth dan istrinya, Idiot Wind melakukan konser dan touring bersama-sama. Pasangan ini memang terlihat sangat romantis. Kalau di Indonesia keromantisan stage acts sekaligus keromantisan dalam menjalin hubungan suami-istri seperti ini bisa kita lihat dalam kehidupan Endah N Rhesa.

The Tallest Man on Earth memulai karirnya di tahun 2006 dengan  merilis album EP yang sama dengan namanya, The Tallest Man on Earth. Dari awal karirnya, ia sudah menarik perhatian banyak kritikus musik karena lirik dan suaranya yang sangat luar biasa. Suaranya yang kuat dan melengking juga lirik-liriknya yang puitis dipadu permainan gitar yang canggih membuat The Tallest Man on Earth terlihat berbeda dari musisi folk lainnya.

Bagi setiap musisi baru, dikait-kaitkan dengan kemampuan musikalitas penyanyi sekelas Bob Dylan adalah sebuah prestasi membanggakan. Para kritikus menggap The Tallest Man on Earth memiliki kemampuan yang sama dengan Bob dari segi penulisan lirik lagu, cara bernyanyi, dan profilnya yang kharismatik. Menanggapi komentar itu, The Tallest Man on Earth melalui video youtube-nya mengatakan, “I don’t consider my work to be part of any tradition. This is How I play. This is How I write songs”.

Namun, ia juga mengakui lagu-lagu Bob banyak menginspirasi karya-karyanya. Selain penyanyi folk Amerika seperti Pete Seeger dan Woody Guthrie. Bagi yang penasaran ingin membandingkan The Tallest Man on Earth dan Bob Dylan, coba cek video The Tallest Man on Earth meng-cover lagu Bob Dylan,  berjudul I Want You. Jika belum puas, mendengarkan singles album The Tallest Man on Earth cukup untuk membangkitkan apetite kamu untuk mendengarkan lagu-lagunya yang lain. Guaranteed!