Senin, 24 Juni 2013

Too bad we were born in the man’s world!

Gara-gara liat status Nuge, saya jadi pengen nulis gini. I miss her anyway :')


Sering terlintas dalam pikiran saya begitu mudahnya lelaki menjalani hidupnya. Mereka bebas memilih pekerjaan yang dikehendakinya, boleh menjadi presiden, CEO, supir truk, sampai tukang parkir. Bukannya tidak bisa bagi kita perempuan-perempuan sejagad raya. Tapi lihat, seberapa mereka gampang saja meng-under estimate perempuan sebelum dia bahkan mencoba kemampuannya. Apakah sejarah yang telah menetapkan pola pikir mereka sedemikian rupa? Kita sebut saja "mereka" yah, bagi siapapun yang ternyata masih konserfativ dalam hal ini.

Laki-laki, mereka boleh merokok di tengah jalan, boleh bekerja di pub tanpa ada stereotype negatif mebayanginya, bahkan boleh minum bercangkir-cangkir coffee tanpa protes dari sesiapapun juga. Sedangkan kita perempuan, baru minum 3 cangkir kopi hitam sehari sudah diprotesi, “kamu perempuan,  kenapa minum kopi hitam?”. Ini masih kopi. Belum bir. Naif! Padahal ini cuman minuman loh!

Kalau memang ada penerapan gender dalam minuman dan rokok, bukan kah petani kopi dan tembakau juga kebanyakan adalah perempuan? Benar, mereka seperti ibu-ibu yang mengandung dan melahirkan kopi dan rokok itu nantinya. Dan anaknya yang dididik menjadi malin kundang agar jauh dari ibunya. Para ibu, maksud saya perempuan-perempuan seperti kita ini lantas menjadi objek decakan negatif karena mencicipinya.

Belum lagi bicara tentang hubungan. Seberapa pahit argument orang-orang yang melazimkan hal-hal negatif hanya karena mereka lelaki. “iya, kan suaminya kedapetan jajan di Hayam Wuruk, istrinya ngambek tuh” – “Oh gitu, yah lagian laki’lah.. gapapa”. Omongan seperti ini nih tidak jarang buat kupingku merah meradang. Pengen ditabok. Namun, saya sadar kekerasan tidak pernah menjadi solusi bagi setiap masalah maupun bagi setiap omongan sampah seperti itu.

Di masa ini, saya adalah seorang perempuan yang sedang berjibaku dengan lowongan kerja. Pekerjaan idaman saya adalah pekerjaan yang banyak berkompetisi dengan lelaki-lelaki tangguh. Di suatu wawancara dengan pimpinan redaksi salah satu majalah musik terkemuka, saya diperingatkan menjadi reporter musik di tempat itu harus bermental baja. Karena pekerjaan itu hakikatnya kerjaan laki-laki. Belum lagi konten yang dibahas adalah hal-hal seputaran laki-laki, seperti musik, film, konser, game, dan wanita.

Sedikit terhardik saya hanya tinggal mengangguk-angguk. Dalam hati saya menyangkal “mana mau saya bekerja disini kalau saya tidak menyenangi musik, film, konser dan well wanita? Maksud saya, bukan kah saya bisa menceritakan wanita itu sendiri dengan lebih detil dan sentimentil, secara saya adalah kaum wanita itu sendiri?” tapi, sekali lagi saya hanya diam terpaku memandangi majalah yang sedari tadi di bolak-balik olehnya. Sayang sekali pikirku, padahal dia lumayan hebat bisa jadi Pimpinan Redaksi.

Dari semua hal pilu yang pernah yang dirasakan perempuan seperti diatas, saya ingin berteriak “KALIAN KUNO!!!” oke, saya tidak akan menuntut keadilan, karena di dunia ini, yang adil hanya isapan jempol belaka. Alias sejatinya memang tak ada. Saya hanya bisa.. yah begini. Menggerutu. Masih salah juga?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar